Senin, 09 Desember 2013

Teman, ni aku share link download filmnya:

http://bit.ly/ONfbsB

 

Subtitle: https://www.box.com/s/bc2b9e123976969ac8dd (lumayan)



Resensinya gimana?

Fetih 1453 adalah sebuah film sejarah epik yang dibuat di Turki. Film yang dibuat dengan US$ 17 juta atau sekitar Rp 158 miliar ini menceritakan tentang pembebasan Bizantium (Romawi Timur) dengan ibukotanya Konstantinopel (Istambul) oleh Sultan Mehmed II (Muhammad Al-Fatih). Dengan biaya sebesar itu menjadikan Fetih 1453 sebagai film termahal yang pernah dibuat sepanjang sejarah perfilman Turki.


Film ini dibuat mulai September 2009 dan baru selesai Januari 2011. Rencana akan mulai ditayangkan diseluruh dunia mulai 17 Pebruari 2011. Dan yang akan pertama kali menyambutnya adalah Mesir, Turki, Uni Emirat Arab, Kazakstan, Ajerbaizan, Inggris, Amerika Serikat, Perancis, Jerman, Georgia, Macedonia, dan Rusia.


Film yang dibintangi oleh Devrim Evin sebagai pemeran Sultan Al-Fatih ini disutradarai oleh Faruk Asoy dengan beberapa aktor lainnya seperti İbrahim Çelikkol sebagai Ulubatli Hasan, Recep Aktuğ sebagai Constantine XI, dan lain sebagainya yang sebagian besar berasal dari Turki.


Sekilas Tentang Muhammad Al – Fatih
Sultan Muhammad Al-Fatih atau juga yang dikenal sebagai Sultan Mehmed II merupakan seorang pemimpin tangguh yang sudah dari kecil menerima banyak didikan agama. Beliau dilahirkan pada tanggal 26 Rajab tahun 833 H.


Pada usia 21 tahun, ia mampu menguasai 6 bahasa dan ahli bidang strategi perang, sains, matematika. Sisi lain dibalik kesuksesan dan jiwa kstarianya, ternyata yang paling membuat beliau tangguh luar dalam adalah ketekunannya dalam shalat Tahajud.
Sejak kecil, Sultan Murad II, yaitu ayah dari Sultan Muhammad Al-Fatih sangat menekankan pentingnya pendidikan agama. Sehingga tidak sedikit para ulama yang didatangkan untuk mendidik beliau, yang diantaranya adalah Syekh Ahmad bin Ismail Al-Kuroniy, seorang pakar fikih yang juga memiliki pengetahuan yang dalam dalam bidang ilmu Nahwu, Ma’ani, dan Bayan.


Kebesaran nama Sultan Muhammad Al Fatih berusaha ditutupi oleh berbagai propaganda barat, mulai dari pengurangan studi seputar sejarah Islam yang bahkan sangat terasa di Indonesia yang mayoritas Islam sekalipun, hingga pembuatan berbagai cerita dan kisah yang dipelintir untuk memembengkokan kebenaran sejarah.

Sosok Muhammad Al-Fatih adalah jawaban kebenaran atas sabda Rasulullah SAW :
“Konstantinopel akan dibebaskan di tangan seorang laki-laki. Maka sebaik-baik pemimpin adalah pemimpin yang membebaskan kota itu. Dan sebaik-baik tentara adalah tentaranya.”(HR. Ahmad)


Sebuah hadist yang menggerakan jiwa-jiwa pemuda Islam yang bermental jihad untuk berlomba-lomba membebaskan Konstantinopel. Yang disaat itu seperti sesuatu yang mustahil untuk ditaklukan oleh siapapun, karena pada saat itu Konstatinopel bisa dibilang sebagai jantungnya dunia.


Strategi Perang Yang “Gila”
Hari Jumat, 6 April 1453 M, Sultan Muhammad II bersama gurunya Syaikh Aaq Syamsudin, beserta tangan kanannya Halil Pasha dan Zaghanos Pasha merencanakan penyerangan ke Konstantinopel dari berbagai penjuru benteng kota tersebut dengan berbekal 150.000 ribu pasukan dan meriam teknologi baru pada saat itu. Muhammad II mengirim surat kepada Paleologus untuk masuk islam atau menyerahkan penguasaan kota secara damai dan membayar upeti atau pilihan terakhir yaitu perang. Constantine menjawab bahwa dia tetap akan mempertahankan kota dengan dibantu Kardinal Isidor, Pangeran Orkhan dan Giovani Giustiniani dari Genoa.

Pemindahan 70-an Kapal Melalui Jalur Darat Dalam 1 Malam
Kota dengan benteng lebih dari 10 meter tersebut memang sulit ditembus, di sisi luar benteng pun dilindungi oleh parit 7 meter. Dari sebelah barat pasukan artileri harus membobol benteng dua lapis, dari arah selatan Laut Marmara pasukan laut Turki harus berhadapan dengan pelaut Genoa pimpinan Giustiniani dan dari arah timur armada laut harus masuk ke selat sempit Golden Horn yang sudah dilindungi dengan rantai besar hingga kapal perang ukuran kecil pun tak bisa lewat.


Berhari-hari hingga berminggu-mingu benteng Byzantium tak bisa dijebol, kalaupun runtuh membuat celah maka pasukan Constantine langsung mempertahankan celah tersebut dan cepat menutupnya kembali. Usaha lain pun dicoba dengan menggali terowongan di bawah benteng, cukup menimbulkan kepanikan kota, namun juga gagal.


Hingga akhirnya sebuah ide yang terkesan bodoh dilakukan hanya dalam waktu semalam. Salah satu pertahanan yang agak lemah adalah melalui Teluk Golden Horn yang sudah dirantai. Ide tersebut akhirnya dilakukan, yaitu dengan memindahkan kapal-kapal melalui darat untuk menghindari rantai penghalang, hanya dalam semalam dan 70-an kapal bisa memasuki wilayah Teluk Golden Horn (ini adalah ide ”tergila” pada masa itu namun taktik ini diakui sebagai taktik peperangan (warfare strategy) yang terbaik di dunia oleh para sejarawan barat sendiri.
Kontroversi Film Fetih 1453


Kontoversi film ini mungkin tidak berbeda jauh dengan postingan ini yang mungkin oleh sebagian orang dianggap SARA. Saya bukanlah orang yang anti terhadap pembahasan SARA, malahan saya orang yang senang ketika kita mau duduk bersama berdiskusi soal SARA sehingga kita bisa bisa sama-sama tahu agar kita bisa saling memahami untuk menghormati. Bukan baru diskusi soal SARA setelah terjadi konflik.
Kontroversi tentang film Fetih 1453 muncul dari belahan Eropa sana, yaitu Yunani. Masyarakat Yunani terkesan tidak terima ketika film Fetih ingin menunjukan sebuah kebenaran sejarah yang memfaktakan bahwa tidak selamanya Islam selalu dalam posisi kalah dan Yunani selalu dalam posisi menang dan kstaria. Sebagian besar dari mereka bahkan menghendaki Fetih 1453 dilarang beredar di Yunani.


Meskipun demikian ada juga orang-orang Yunani dan dari belahan dunia lainnya yang mampu melihat lebih objektif terhadap film ini. Yaitu mereka-mereka yang mencintai film dengan konteks heroik dengan kualitas tinggi, mungkin tidak ubahnya seperti saya ketika menikmatii film-film sepertiTroy, Gladiator, 300, The Patriot, Clash of the Titans, dan Lord of the Ring.

Review Filmya:

 

 

Sumber resensi [kopas] www. indowebster .web. id/ showthread.php?t=324564&page=2&s=761b787d7c6bd7399df55e6ce67d1d9a

 

Review Filmnya:

Kota Konstantinopel akan jatuh ke tangan Islam.
Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin
dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan.”

Demikianlah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal, sebuah kalimat yang diucapkan oleh Rasulullah SAW di abad ke-7. Pancaran optimisme yang luar biasa dari beliau di saat kaum muslimin masih belum bebas bergerak di seputar jazirah Arab. Namun kemantapan hati bahwa agama ini akan berkembang pesat dan luas itu sangat menenangkan para sahabat.


Membayangkan masuknya Islam hingga ke jantung sebuah negara adidaya, mungkin setara dengan mengatakan bahwa nantinya Gedung Putih akan menjadi salah satu icon peradaban muslim. Nyaris tak tergambarkan. Namun keimanan kepada Rasulullah adalah satu syarat mutlak seorang mukmin, maka setiap benak yang ada pada para sahabat pun bertekad kuat untuk mewujudkannya. Semua berdoa, memohon kepada Allah SWT bahwa ia-lah yang dimaksud dalam hadits tersebut. Sebaik-baik pemimpin, sebaik-baik pasukan. Subhanallah.


Film “Fetih 1453“ buatan Turki yang disutradari Faruk Aksoy ini diluncurkan serentak di berbagai belahan dunia pada tanggal 16 Februari 2012. Momen diriwayatkannya hadits tersebut dijadikan pembuka alur cerita, sekaligus mengisyaratkan bahwa keseluruhan visualisasi yang disajikan adalah bentuk adaptasi dari kisah nyata yang terjadi ratusan tahun silam. Saat itu, tentara kesultanan Usmani di bawah komando langsung dari sang Sultan Muhammad II mampu menaklukkan kota dengan pertahanan terbaik di dunia, yakni Konstantinopel.


Dengan menjual predikat kepahlawanan yang “based on true story“, tentu saja beban yang dibawa oleh film ini cukup berat. Namun bagaimana pun, yang hadir di gedung bioskop dan menyaksikan film ini dapat dikategorikan setidaknya satu dari empat tipe: (1) penikmat sejarah, (2) pendamba hiburan Islami, (3) pengamat film, atau (4) penonton biasa yang “nothing to lose“.

 

Bagi penonton tipe pertama (penikmat sejarah), hadirnya bumbu dalam ceritera yang disuguhkan tidaklah terlalu penting. Yang harus diperhatikan adalah tahun, kejadian, kutipan, serta visualisasi. Semisal, bagaimana dalam “Fetih 1453” Selat Bosphorus ditampilkan terpagari oleh rantai besar yang dapat menghalangi kapal-kapal perang untuk melaluinya. Atau, momen di mana meriam besar berukuran 8 meter itu dibuat kemudian ditarik oleh ratusan orang dan puluhan kerbau ke medan laga. Jika unsur-unsur ini terpenuhi, yang lain sedikit-banyak boleh diabaikan.


Berbeda dengan itu, penonton tipe kedua akan lebih cenderung pada karakter di dalam film yang disaksikan. Apabila terjadi penggambaran yang keliru pada tokoh kunci, maka nilai tontonan itu akan menurun di hadapannya. Memang mustahil mendapatkan protagonis yang terlalu sempurna, namun ada harapan besar bahwa ciri-ciri utama yang ada dalam benaknya, dapat terpenuhi.


Tipe ketiga lebih cenderung menjadi observer. Pada umumnya, sepanjang film ia “sibuk” melakukan komparasi dengan film lain atau menganalisa logis-tidaknya alur cerita yang disajikan. Untuk film perang kolosal yang berlandaskan kisah nyata, perbandingan yang “apple-to-apple“ antara lain bisa diambil dari Kingdom of Heaven (dibintangi oleh Orlando Bloom & Liam Neeson), Braveheart (Mel Gibson), atau Troy (Brad Pitt & Eric Bana). Juga sedikit banyak film seperti Hero (Jet Li & Donnie Yen).
Sedangkan tipe keempat atau terakhir biasanya tidak terlalu mempermasalahkan apa pun, namun mendambakan sebuah alur cerita yang utuh serta tidak membingungkan. Umumnya menyukai humor ringan, kejutan kecil atau adegan yang heroik, sesuai tipe film yang ditonton. Kalimat saktinya “tidak apa-apa melenceng dari sejarah, sosok aslinya atau agak tidak masuk akal, asal enak ditonton”. Dan justru tipe inilah yang mayoritas di antara para penonton bioskop.
Jika Anda penonton tipe pertama,


maka mungkin Anda akan temukan adanya berbagai hal yang cukup memenuhi standar di film “Fetih 1453“. Pencantuman bulan dan tahun yang cukup cermat di awal beberapa peristiwa kunci, juga beberapa hari penting dalam peperangan. Beberapa penggambaran tentang perang yang terjadi pun dapat dianggap sesuai dengan beberapa ilustrasi yang ada di berbagai sumber.


Sultan Muhammad II (Mehmed II) yang diperankan oleh Devrim Evin juga mampu memuat sosok tegas yang memancarkan tekad bulat untuk menaklukkan Konstantinopel. Beberapa karakter penting seperti Ulubatli Hasan (meski sebagian orang menyatakan ini adalah tokoh fiktif), Giustiniani (pimpinan pasukan khusus penjaga benteng Konstantinopel), Ak Syamsuddin (guru dari Mehmed II) hingga raja Konstantin XI juga mampu membangun nuansa sejarah yang padu. Juga penggambaran kota dan bangunan-bangunan yang ada pada masa itu, cukup realistis.


Kelemahan yang ada, umumnya adalah kompensasi akan kebutuhan dramatisasi. Salah satu contoh adalah bagaimana karakter Urban, seorang insinyur yang merancang meriam raksasa, digambarkan menolak permintaan pembuatan Konstantin XI dan kemudian terancam dibunuh namun berhasil diselamatkan oleh Hasan. Yang “agak parah” adalah hadirnya seorang perempuan bernama Era dengan status anak angkat Urban. Namun sekali lagi, ini kebutuhan alur cerita untuk penonton tipe keempat.

 

Jika Anda penonton tipe kedua (pendamba hiburan Islami), di satu sisi mungkin Anda akan berbahagia dengan hadirnya film ini. Sebuah alternatif di luar tipikal film Hollywood yang hadir dari sebuah negeri mayoritas muslim. Tetapi hendaknya ekspektasi Anda tidak perlu terlalu tinggi. Untuk keseluruhan film, kemungkinan besar Anda akan puas. Namun menyikapi berbagai penggambaran atas karakter-karakter yang ada dalam film tersebut, memang mau tidak mau masih ada bias dengan sejumlah tontonan yang banyak beredar.


Tidak ada manusia yang sempurna, mungkin itu pesan yang ingin ditampilkan. Namun, saat berbagai sumber menyebutkan bahwa Sultan Muhammad II tidak pernah sekalipun meninggalkan shalat wajib, sunnah rawatib hingga tahajjud, Anda mungkin akan kecewa mendapati bahwa sang permaisuri beliau Mukrima Khatun (di dalam film menggunakan nama Gulbahar Hatun, namun jelas dikisahkan bahwa ia adalah ibu dari Bayazid II), digambarkan tidak berhijab. Gelengan kepala Anda juga akan makin lebar saat melihat kesibukan sang ibu negara di sepanjang film nyaris hanya bersolek saja. Ya, begitulah adanya film tersebut.


Juga, pengaruh Hollywood nampaknya tidak bisa lepas dengan mudah. Masih ada saja pernik-pernik yang cukup mengganggu, semisal kisah asmara antara Hasan dan Era. Mengingat Hasan dikenang sebagai pahlawan besar perang tersebut (yang pasukannya adalah sebaik-baik pasukan) sedangkan Era adalah tokoh fiktif, jelaslah bahwa ini sekedar mengakomodir keinginan untuk menampilkan alur cerita yang dramatis.


Jika Anda penonton tipe ketiga (pengamat film), bisa jadi pertama-tama yang Anda bayangkan adalah bagaimana film ini menampilkan sebuah ciri khas, di luar berbagai tontonan yang pernah beredar. Mampukah perfilman Turki menampilkan kualitas film yang sejajar dengan Hollywood, Eropa atau Asia Timur? Standar yang terlalu tinggi memang, namun setidaknya harapan itu masih ada.


Membandingkan dengan film-film lain yang bersesuaian tema, maka di berbagai momen Anda akan melihat sedikit duplikasi Kingdom of Heaven saat pasukan Usmani berusaha memanjat tembok benteng. Dari sudut pandang sejarah memang demikianlah situasinya, namun Anda mungkin berharap bisa melihat versi yang agak berbeda. Juga, adegan meluncurnya ribuan panah yang visualisasinya masih (sedikit) di bawah Hero. Atau adegan negosiasi antara Muhammad II dan Konstantin XI yang penggambaran umumnya tidak jauh berbeda dengan Troy. Tanpa mengatakan film ini kurang kreatif, namun tanpa sengaja pikiran Anda akan lari ke sana jika pernah menyaksikan film-film tersebut.


Lagi-lagi menyoal dramatisasi, Anda akan menemukan bahwa hubungan emosional yang coba dibentuk melalui karakter Era agak “maksa”. Setelah menolak lamaran Giustiniani yang merupakan jenderal pertahanan Konstantinopel, Era pulang ke rumah ayah angkatnya (Urban sang insinyur meriam), dan kemudian menjalin hubungan dengan Hasan yang merupakan pimpinan pasukan khusus Usmani. Saya sempat menebak, di suatu bagian dari film akan digambarkan pertarungan satu lawan satu antara Hasan dan Giustiniani. Dan dengan dinyana, ternyata tebakan saya benar.

 

 

Jika Anda penonton tipe keempat (penonton biasa), maka Andalah yang berusaha dimanjakan oleh film ini. Banyaknya adegan kekerasan seperti – maaf – tangan atau kaki terpotong, leher tertembus tombak, dsb mungkin cukup seru bagi penggemar film action. Karena adegan semacam itu cukup signifikan, film ini dikategorikan FSK-16 di Jerman (tempat saya menontonnya), yang berarti terlarang bagi anak berusia di bawah 16 tahun.


Penggemar drama? Hadirlah rentetan bumbu yang berkisar di seputar romantika para tokohnya. Hanya bumbu, karena seandainya pun adegan-adegan itu tidak ada, jalan cerita tidaklah terpengaruh besar. Atau malah sama sekali nggak ngefek. Barangkali sikap Sultan Muhammad II yang dingin dan tidak sekalipun bersedia tersenyum kepada anak dan istrinya sebelum Konstantinopel takluk membuat Anda terbawa, atau bisa juga penggambaran sang raja yang frustrasi menjadi titik di mana Anda tersentuh. Walau mungkin, Anda juga akan merasa jengkel dengan sikap Konstantin XI yang digambarkan berfoya-foya di banyak adegan. Ya, selamat mencari kesesuaian dengan apa yang Anda harapkan.


Nah…


apakah film ini layak tonton? Insya Allah, iya. Ada perspektif baru yang bisa ditambahkan pada memori Anda, yakni film asing yang digagas dan dibuat oleh dunia Islam. Situs rujukan film IMDb, saat tulisan ini dibuat, telah merangkum lebih dari 16.000 votes dengan nilai rata-rata 8.4 yang berarti sangat tinggi. Memang itu bukan patokan satu-satunya, namun sedikit-banyak angka tersebut bisa memberikan gambaran bagi kita.


Saya sarankan, jika nantinya bioskop di Indonesia memutarnya, saksikan bersama orang-orang yang sedikit banyak sudah mengetahui bagaimana peperangan dan tokoh-tokoh kunci yang ada di film ini. Syukur-syukur lagi kalau ada yang bisa membuat intisari dari berbagai hikmah yang tersedia, apakah itu dari sisi Islam, motivasi, dunia perfilman, atau sekedar hiburan. Tapi tentu saja itu bukan sebuah keharusan, melainkan sekedar rekomendasi.


Film ini hanya tersedia dalam bahasa Turki. Umumnya bioskop-bioskop Jerman memutar film asing yang sudah melalui proses dubbing, tapi “Fetih 1453” ditayangkan hanya dengan subtitle bahasa lokal. Bisa jadi karena cukup banyak orang berkebangsaan atau keturunan Turki di Jerman sini.


Jadi, kapan ditayangkan di Indonesia? Entahlah… jika Anda tahu, ayo beri informasi melalui komentar Anda di bawah, terlepas dari Anda sudah menonton atau belum. Semoga tulisan ini dan apa pun pendapat Anda tentang film “Fetih 1453″ bisa bermanfaat bagi kita semua… amin.


Abu Qubail menuturkan dari Abdullah bin Amr bin Ash, “Suatu ketika kami sedang menulis di sisi Rasulullah SAW, tiba-tiba beliau ditanya, `Mana yang terkalahkan lebih dahulu, Konstantinopel atau Romawi?´ Beliau menjawab, `Kota Heraklius-lah yang akan terkalahkan lebih dulu.’ Maksudnya adalah Konstantinopel.”(HR. Ahmad, Ad-Darimi, Al-Hakim)

Sumber: http: // indofiles. org/ showthread.php?t=67136&page=2

Categories: , , , , ,

0 komentar:

Posting Komentar

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!